Minggu, 05 Februari 2012

Foto ini diambil tanggal 06 Februari 2011.




Misteri Paket Biru

            “Farid....” suara itu terdengar oleh Farid. Farid yang masih memakai tasnya dan hendak masuk ke dalam kelasnya, kemudian terhenti dan berbalik menebak-nebak darimana asal suara yang sudah tidak asing lagi baginya itu. Sosok bernama Rangga itu dengan langkah pasti menuju Farid.
            “Farid ini” ucap Rangga sambil memegangi sebuah amplop berwarna merah muda ketika berada tepat di depan Farid. Farid hanya diam saja dengan wajah yang biasa. Sebagai sahabat yang sudah mengenal luar dalamnya Farid. Bagi Rangga sikap Farid itu bukanlah hal yang aneh lagi.
            “Ini surat buat kamu, dari Rita” lanjut Rangga.
            “Oh...” balas Farid datar.
            “Oh bagaimana?, ini buat kamu”. Tanpa banyak kata lagi, Farid lalu mengambil amplop yang berada di tangan kanan Rangga dan langsung memindahkan amplop tersebut ke dalam tabung tanpa tutup yang ada di depan kelasnya.
            “Kenapa kamu buang?, baca dulu kek isinya apa” Kata Rangga dengan nada kesal. Bell masuk kemudian berbunyi. Farid masuk kelas dan diikuti Rangga yang duduk di samping Farid. Rangga tidak melanjutkan pertanyaannya. Rangga yang sebenarnya sudah tahu bahwa akhirnya pasti dibuang juga, sudah mengatakan ke Rita, tapi Rita tetap memaksa Rangga untuk menyampaikan amplop itu.
            Farid memang tidak sedikitpun memikirkan berapa banyak yang suka padanya. Farid memang amat sangat tidak tertarik untuk memikirkan hal semacam itu. Mungkin karena masa lalunya atau karena dia telah lebih dulu menyukai seseorang, Rangga juga tidak tahu. Farid sama sekali tidak bisa dipancing untuk membahas hal semacam itu meskipun oleh sahabatnya sendiri. Farid sama sekali tidak tertarik pada Sisil yang modis, kaya, dan rela bolak-balik salon demi menarik perhatian Farid. Atau bahkan Rasty yang populer, cantik, yang banyak disukai teman-teman cowok satu sekolahan pun tidak bisa membuat Farid memperhatikannya sedikitpun. Farid tidak sedikitpun menganggap mereka ada. Karena menurut Farid itu hanya akan menjadi masalah baginya.
            Sepulang sekolah Rangga ikut ke rumah Farid. Sesampainya di rumah. Rangga dan Farid baru saja melepas sepatu dan tiba-tiba telepon berbunyi. Farid pun menuju sumber suara itu dan kemudian mengangkat telepon tersebut.
            “Assalamu’alaikum” tidak ada jawaban yang terdengar dan tiba-tiba telepon itu terputus. Farid dan Rangga menuju kamar Farid.
            “Siapa yang telepon? Kok cepet banget?” tanya Rangga, sambil mengutak-atik tumpukan kaset milik Farid.
            “Gak tahu tuch, teleponnya langsung terputus”
            “Oh...”
            Kemudian terdengar bell berbunyi. Menyadari itu Farid pun turun dari tempat tidurnya dan kemudian menuju pintu depan. Setelah dibukanya pintu ternyata tidak ada seorang pun, hanya ada paket berbentuk persegi berwarna merah marun. Paket itu kemudian dibawa Farid ke kamarnya.
            “Rangga tadi waktu aku buka pintu ternyata tidak ada orang hanya ada paket ini” kata Farid sambil meletakkan paket tersebut di lantai.
            “Coba saja kamu buka” Jawab Rangga yang tengah berbaring di tempat tidur sambil bernyanyi-nyanyi mendengar musik yang di putarnya.

(To Be Continue...)
           

Resensi Film” White The Melody of The Curse” (2011)
Genre : Horror
Sutradara : Gok Kim, Sun Kim
Penulis Naskah : Sun Kim, Gok Kim
Distributor : Next Entertainment World
Pemain : Ham Eun-Jung, May Doni Kim, Choi Ah-Ra, Jin Se-Yun, Hwang Woo Seul Hye, Pyeon Jung-Su, Kim Young-Min, Kim Ki-Bang
Durasi : 106 min

Sinopsis

                Girlband bernama “Pink Dolls” yang telah memulai debutnya. Tetapi, ketidakkompakan mereka membuatnya sama sekali tidak diakui di kalangan masyarakat, bahkan tidak satupun yang mengunjungi situs resmi mereka. Sampai suatu ketika, agensi mereka membeli sebuah tempat dengan harga murah yang merupakan bangunan bekas kebakaran. Eun Jeong yang menjadi leader Pink Dolls, secara tidak sengaja menemukan video lama yang berlabel White. Eun Jeong pun memutar video lama itu dan ketika ketua agensinya melihat video itu, dia pun memutuskan untuk menjadikan lagu White sebagai single kedua Pink Dolls karena lagu tersebut belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Tidak disangka lagu White kemudian menjadi sangat popular dan untuk meningkatkan popularitas tersebut, agensinya pun memutuskan untuk menggunakan vokalis utama dalam lagu White seperti yang ada di video lama yang asli.
                Kejadian-kejadian aneh kemudian terjadi dikalangan member Pink Doll, sampai mereka harus masuk rumah sakit satu per satu. Eun Jeong yang menyadari hal tersebut lalu meminta bantuan Soon Ye untuk sama-sama menyelidiki apa yang terjadi, mereka kemudian mengetahui bahwa lagu tersebut memiliki kutukan. Dan akhirnya mereka mengetahui sosok yang menjadi vokalis utama dalam video asli White, mereka pun pergi meminta maaf dan menganggap kutukan itu telah selesai. Ketika akhirnya hanya Eun Jeong yang tersisa untuk melakukan debut tunggal, Eun Jeong berubah menjadi sombong, bahkan dia mengakui kepada publik bahwa lagu White merupakan lagu ciptaannya. Di tengah popularitas Eun Jeong, member Pink Dolls yang berada di rumah sakit kemudian sadarkan diri.
                Ketika Soon Ye kembali ke gedung agensi, dia pun menyadari bahwa kutukan tersebut belum selesai karena sosok yang menjadi vokalis utama ternyata bukan orang yang menciptakan lagu White. Ditambah lagi ketiga member Pink Dolls yang lain bunuh diri dengan meminum pemutih lantai pada acara langsung sebuah stasiun televisi. Soon Ye pun pergi untuk menyelamatkan Eun Jeong, namun terlambat, Eun Jeong telah meninggal karena terinjak oleh penonton yang panik ketika gedung tiba-tiba mengalami kebakaran.

Sabtu, 04 Februari 2012



Fenomena alam kembali terjadi, tulisan dengan lafaz Allah terbentuk di awan. Lafaz Allah ini terbentuk di Kota Makassar, Sul-sel. Pada tanggal 15 Oktober 2011, kira-kira pukul 17.15, foto dengan lafaz Allah ini diabadikan melalui kamera hp.

Mendadak Detektif
Matahari terik menemani Ran dan keluarganya pulang ke rumah. Mata yang kian sembab tampak memenuhi ruangan mobil Honda CR-V berwarna silver itu. Ran melihat jam ditangan kanannya yang menunjukkan tepat pukul dua siang. Ia masih memegang keranjang bunga yang telah kosong. Bunga-bunganya telah bertaburan di makam ayahnya yang baru saja tewas terbunuh secara misterius. Polisi belum dapat menemukan penyebab kematian ayahnya sampai saat ini, tidak ditemukan sidik jari orang lain pada pistol yang terletak di genggaman tangan kanan sang ayah kala itu.
                Honda CR-V kini telah terparkir di depan rumah. Rangkaian bunga bertuliskan “Turut Berduka Cita” tampak berjejer satu per satu di pagar rumah. Ran pun turun dari mobil sambil membawa keranjang kosongnya. Perasaan sedih masih dirasakan Ran, wajar saja, Ran memang sangat dekat dengan ayahnya. Keranjang itu disimpan di atas meja ruang tengah. Dengan langkah yang berat Ran menaiki anak tangga satu per satu. Ran berjalan menuju kamar orangtuanya.   
“Ran, sini nak bantu ibu merapikan barang-barang ayah” Kata ibu dari dalam kamar.
“Iya bu...” (Ran pun semakin dalam masuk ke dalam kamar).
“Ibu, ayah tidak mungkin bunuh diri khan?” Tanya Ran dengan yakin.
“Entahlah nak. Kita tunggu saja kabar selanjutnya dari polisi” Jawab Ibu. Beberapa saat kemudian setelah kamar selesai dirapikan.
“Ran, pergilah beristirahat di kamarmu, pasti kamu sangat lelah hari ini” Kata Ibu yang hendak keluar dari kamar.
“Iya bu…” Kata Ran yang sedang duduk di bibir tempat tidur di kamar tersebut sambil melihat ibunya yang semakin berlalu dari balik pintu.
                Cuaca yang tadinya terik, mulai tertutup awan hitam sedikit demi sedikit. Udara yang tadinya sangat panas pun mulai terasa agak sejuk. Setelah puas mengenang almarhum ayahnya, Ran pun mulai beranjak dari tempat tidur. Kakinya terasa terkena sesuatu yang ada di bawah tempat tidur. Ran berjongkok untuk mengetahui apa yang mengganggu kakinya dan dia menemukan sebuah kotak kecil di sana. Ran kemudian mengambil kotak kecil tersebut dan bergegas membawanya menuju kamarnya.
                Ran terheran-heran melihat kotak berwarna merah darah tersebut, dia terus membolak-balikkan kotak itu sebelum akhirnya dibukannya. Di dalam kotak itu terdapat boneka jerami kecil yang di kepala tengah bagian depan tertancap jarum kecil, sama seperti letak peluru yang tertancap pada kepala ayahnya. Selain itu, terdapat surat kecil dengan kalimat mengancam yang ditulis dengan tinta merah seperti darah, atau mungkin memang darah. Di surat itu tertulis “KAU AKAN MATI, )(>))”. Ran memang sangat tidak percaya kalau ayahnya meninggal karena bunuh diri seperti yang dikatakan polisi yang hanya menemukan sidik jari ayahnya pada pistol. Hal yang sangat membuatnya yakin yaitu karena ayahnya memiliki iman yang sangat kuat, dan Ran tahu bahwa bunuh diri merupakan perbuatan yang tidak disukai Allah, bahkan Allah memberikan balasan neraka bagi orang yang melakukan tindakan tersebut.
                Keesokan harinya, sebelum berangkat ke sekolah, Ran dan kedua saudaranya berkumpul di ruang keluarga karena ibunya ingin mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan masa depan ketiga buah hatinya.
“Nak, ibu pikir rumah kita harus dijual secepatnya, dan uangnya digunakan untuk membantu biaya sekolah kalian. Kemudian kita akan tinggal di rumah yang lebih sederhana. Kalian tidak keberatan khan tinggal di rumah yang lebih kecil?” Tanya ibu.
“Hemm, nda apa-apa bu” Jawab Sari, kakak Ran dan Aril yang sekarang telah berkuliah. Ran dan Aril mengiyakan dengan mengangguk-ngangguk.
“Bu, boleh tidak kalau saya mencari pekerjaan sambilan?” Sambung Sari.
“Boleh saja, asal tidak mengganggu kuliahmu nak” Jawab Ibu.
“Iya bu. Sari juga akan mengambil waktu yang selesainya sebelum jam enam sore” Lanjut Sari.
Beberapa bulan kemudian, rumah yang cukup besar itu terjual. Mereka pun menempati rumah baru yang terletak cukup jauh dari rumah semula. Di kamar baru, Ran membereskan buku-buku, baju-baju, dan barang-barang lainnya. Tahun ini merupakan tahun pertama Ran menginjak bangku SMA. Ran mengikuti kelas percepatan di sekolah yang dikenal sebagai kelas unggulan tersebut. Biaya pembayaran yang harus ditanggung pasti lebih mahal dari kelas biasa. Hal itu membuat Ran harus mengubur mimpinya untuk berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri favorit, karena Ran tahu bahwa itu akan memberatkan keluarganya, terutama dari segi ekonomi.
Kotak kecil yang akhir-akhir itu terlupakan, kini terlintas lagi dipikiran Ran. Ran membaca surat seram itu sekali lagi. Dia mulai berpikir, mungkin kotak itu ada hubungannya dengan kasus terbunuhnya sang ayah beberapa bulan silam. Sambil menatap tajam pada akhir surat itu yang bertuliskan ”)(>))”. Beberapa saat kemudian, Ran mengambil laptopnya dan menulis “)(>))” pada Microsoft Word. Kemudian di bawahnya ditulis hal yang sama dengan tidak menekan tombol Shift, Ran pun teringat bahwa ayahnya ditemukan telah meninggal pukul 09.00. Ran yang telah sadar bahwa ayahnya dibunuh pun pergi menuju kampus tempat ayahnya mengajar. Sesampainya disana, Ran melihat penjaga kampus yang duduk di pos.
“Pak, apakah berkas-berkas ayah masih di simpan?” Tanya Ran penuh harap.
“Iya” Jawab bapak itu dengan singkat.
“Pak, bisakah bapak mengantarkan saya ke tempat penyimpanan berkas itu?”
“Iya, mari ikuti saya”
                Ran pun mengikuti bapak itu, ke sebuah ruangan perpustakaan yang ada di kampus tesebut. Sesampainya di depan ruangan. Bapak itu meminta izin untuk kembali ke pos karena dia harus selalu menjaga di sana. Tinggallah Ran sendiri di ruangan itu. Ran terus membongkar berkas-berkas ayahnya dengan yakin bahwa ayahnya pasti meninggalkan jejak pembunuh ayahnya. Tak beberapa lama kemudian dia melihat kertas dengan inisial RF. Ran pun mencari inisial nama tersebut dari seluruh kenalan ayahnya, mulai dari rekan-rekan kerja ayahnya, sampai ke mahasiswa-mahasiswa yang diajar oleh ayahnya. Akhirnya, beberapa minggu kemudian Ran menemukan nama dengan inisial tersebut. Dia pun melaporkan ke polisi. Dan orang tersebut ditangkap. Orang tersebut pun mengakui perbuatannya karena selama itu dia terus mendapat teror dari ayah Ran. Dia sangat ketakutan. Orang itu pun dihukum sesuai dengan perbuatannya.





Minggu, 29 Januari 2012


HUJAN
            Matahari yang terik siang itu sedikitpun tidak menampakkan diri. Awan yang kelabu berlari-lari lembut menyapa di pelosok kota. Rangga yang baru saja tiba di rumahnya sangat bersyukur dapat mengalahkan kecepatan awan-awan hitam itu. Tidak lama kemudian turun hujan. Dan Rangga yang merencanakan untuk pulang lebih cepat dari biasanya, akhirnya sampai di rumah tanpa harus menerima serangan dari titik-titik hujan yang siap menyerbunya siang itu. Tetapi Rangga tidak menikmati kebahagiaannya itu terlalu lama. Teringat kasus yang tengah dihadapi ayahnya. Ayahnya dituduh korupsi.

Memang hal itu belum terbukti namun tuduhan itu cukup membuatnya menjadi tidak semangat akhir-akhir itu. Tuduhan itu tidak sedikitpun membuat Rangga takut akan dikucilkan atau bahkan kehilangan teman-temannya meskipun dia tahu bahwa itu semua akan berdampak padanya ketika pada koran halaman pertama tertulis berita utama tentang kasus ayahnya. Rangga hanya memikirkan ayahnya, berulang kali Rangga meyakinkan dirinya, ayah tidak mungkin melakukan hal itu, itu hanya tuduhan, itu hanya cobaan untuk kami, Ya Allah tetaplah tabahkan hati kami.

Rangga yang tergolong kaya, wajahnya dan kecerdasannya cukup membuatnya kian sempurna dan tidak pernah kekurangan teman, bahkan juga penggemar. Meski begitu Rangga bukanlah orang yang tega menggunakan harta milik ayahnya untuk sekedar berfoya-foya. Rangga juga bukan orang yang memanfaatkan kepopulerannya untuk kepentingan pribadinya.

“Rangga kenapa kamu disitu, ayo masuk nak, nanti kamu sakit” Ucap ayahnya yang kini membuat Rangga tersentak dan langsung masuk rumah. Ayahnya yang telah berpakaian rapi disalami Rangga yang baru tiba di rumah.

“Ayah mau kemana?” tanya Rangga.

“Ayah mau pergi dulu untuk membicarakan kasus ini dengan pengacara ayah. Rangga ketahuilah bahwa ayah tidak pernah melakukan hal ini. Doakan ayah agar kasus ini cepat selesai”

“Iya ayah” kemudian ayah Rangga pun pergi mengendarai mobil pribadi dan kemudian hilang dari kejauhan. Hujan masih saja menyerbu kota itu. Malah semakin deras. Rangga pun mencari ibunya dan menyalami ibunya, kemudian dia menuju kamarnya. Rangga merasa lelah setelah berlari dari sekolah, meskipun jarak rumah dan sekolahnya tidak begitu jauh karena potong kompas. Sebelumnya Rangga ditawarkan menggunakan kendaraan pribadi oleh ayahnya tapi Rangga menolak dengan alasan lebih suka melewati jalan setapak. Menurut Rangga jalan setapak yang banyak ditumbuhi rumput liar itu sangat indah, apa lagi wangi rumput yang terbawa angin di pagi hari yang makin menambah semangatnya.

Pagi itu sesampainya disekolah. Hari-hari Rangga seperti biasanya. Sejak pagi para penggemarnya mulai mencuri-curi pandang ke arahnya, dia hanya membalas dengan senyuman biar tidak terkesan sombong, tapi senyuman itu sudah cukup membuat para penggemarnya tidak ingin berkedip meskipun hanya sedetik. Bell istirahat berbunyi.

“Rangga ini ada tugas dari guru, tolong disampaikan ke teman-teman” kata Rita, teman sekelas Rangga sambil menyodorkan kertas kecil berisi beberapa kata dan angka di dalammya.

“Terima kasih” balas Rangga singkat. Rangga pun lalu menyampaikan ke teman sekelasnya tentang tugas tersebut. Tidak lama kemudian anak dari kelas lain masuk menuju ke arah Rangga yang hanya duduk di bangkunya sambil membaca sebuah buku. Mereka ingin mengajak Rangga ke kantin namun Rangga hanya menolak dengan baik-baik walau telah dipaksa berkali-kali. Rita adalah teman satu kelas Rangga yang tidak pernah memperlakukannya dengan istimewa seperti teman-teman lainnya. Rita dan Rangga pun tidak pernah memikirkan itu meskipun hanya sesaat. Tapi mereka memang tidak memperlakukan orang lain dengan istimewa. Teman yang kaya, miskin, populer, culun atau bahkan yang jelek menurut pandangan teman-temannya pun hanya disikapi dengan biasa.

Sesampainya di rumah Rangga menyalami kedua orang tuanya. Mereka terlihat sedih. Rangga yang baru pulang langsung bertanya dengan perasaan bingung yang melanda batinnya. Meskipun dia merasa capek dan belum sempat beristirahat barang sejenak.

“Ayah dan Ibu kenapa sedih?” Rangga yang membuka pembicaraan disambut awan mendung yang mulai menghitam. Hujan gerimis mulai turun, suara pohon tertiup angin terdengar sangat jelas. Ayah dan Ibu Rangga terdiam sebentar.

“Nak tinggal beberapa bukti lagi dan ayah akan di vonis” jawab Ayah dengan suara yang tidak tegas seperti biasanya.

“Ayah, Rangga percaya ayah tidak melakukan hal itu, ayah harus tetap berusaha” Rangga kemudian menuju kamarnya. Dia sholat dan berdoa terutama untuk ayahnya.

Keesokan harinya, kasus ayah Rangga tertera di koran pagi. Tapi Rangga langsung menyiapkan fisik dan mentalnya untuk tetap ke sekolah, meskipun Rangga merasa sangat sedih. Orang tuanya mampu membaca kesedihannya namun Rangga berusaha agar menyembunyika kesedihannya meski sulit.

Dalam perjalanan Rangga terus saja tersenyum untuk menghibur dirinya sendiri. Sesampainya di sekolah, hal yang berbeda dari biasannya. Saat itu teman-temannya terus membicarakan gosip-gosip miring tentangnya, sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Rangga di pandang sinis teman-temannya, juga para penggemarnya, Rangga tahu itu. Tapi dia tetap bersikap biasa, mencoba untuk tegar sambil membisikkan kata semangat untuknya sendiri. 

Tiba saat pulang Rangga tidak langsung pulang ke rumah, dia duduk di atas batu besar yang ada di jalan setapak jalan pintasnnya sambil terdiam. Bahkan hujan deras yang mengguyurnya seperti tidak lagi dirasakannya. Dia teramat sedih. Kemudian sesosok datang memayunginya yang sudah basah kuyup. Ketika itu Rangga tersadar dari lamunannya dan berbalik, ternyata Rita, kemudian Rita mencoba membujuknya Rangga untuk segera pulang.