Minggu, 29 Januari 2012


HUJAN
            Matahari yang terik siang itu sedikitpun tidak menampakkan diri. Awan yang kelabu berlari-lari lembut menyapa di pelosok kota. Rangga yang baru saja tiba di rumahnya sangat bersyukur dapat mengalahkan kecepatan awan-awan hitam itu. Tidak lama kemudian turun hujan. Dan Rangga yang merencanakan untuk pulang lebih cepat dari biasanya, akhirnya sampai di rumah tanpa harus menerima serangan dari titik-titik hujan yang siap menyerbunya siang itu. Tetapi Rangga tidak menikmati kebahagiaannya itu terlalu lama. Teringat kasus yang tengah dihadapi ayahnya. Ayahnya dituduh korupsi.

Memang hal itu belum terbukti namun tuduhan itu cukup membuatnya menjadi tidak semangat akhir-akhir itu. Tuduhan itu tidak sedikitpun membuat Rangga takut akan dikucilkan atau bahkan kehilangan teman-temannya meskipun dia tahu bahwa itu semua akan berdampak padanya ketika pada koran halaman pertama tertulis berita utama tentang kasus ayahnya. Rangga hanya memikirkan ayahnya, berulang kali Rangga meyakinkan dirinya, ayah tidak mungkin melakukan hal itu, itu hanya tuduhan, itu hanya cobaan untuk kami, Ya Allah tetaplah tabahkan hati kami.

Rangga yang tergolong kaya, wajahnya dan kecerdasannya cukup membuatnya kian sempurna dan tidak pernah kekurangan teman, bahkan juga penggemar. Meski begitu Rangga bukanlah orang yang tega menggunakan harta milik ayahnya untuk sekedar berfoya-foya. Rangga juga bukan orang yang memanfaatkan kepopulerannya untuk kepentingan pribadinya.

“Rangga kenapa kamu disitu, ayo masuk nak, nanti kamu sakit” Ucap ayahnya yang kini membuat Rangga tersentak dan langsung masuk rumah. Ayahnya yang telah berpakaian rapi disalami Rangga yang baru tiba di rumah.

“Ayah mau kemana?” tanya Rangga.

“Ayah mau pergi dulu untuk membicarakan kasus ini dengan pengacara ayah. Rangga ketahuilah bahwa ayah tidak pernah melakukan hal ini. Doakan ayah agar kasus ini cepat selesai”

“Iya ayah” kemudian ayah Rangga pun pergi mengendarai mobil pribadi dan kemudian hilang dari kejauhan. Hujan masih saja menyerbu kota itu. Malah semakin deras. Rangga pun mencari ibunya dan menyalami ibunya, kemudian dia menuju kamarnya. Rangga merasa lelah setelah berlari dari sekolah, meskipun jarak rumah dan sekolahnya tidak begitu jauh karena potong kompas. Sebelumnya Rangga ditawarkan menggunakan kendaraan pribadi oleh ayahnya tapi Rangga menolak dengan alasan lebih suka melewati jalan setapak. Menurut Rangga jalan setapak yang banyak ditumbuhi rumput liar itu sangat indah, apa lagi wangi rumput yang terbawa angin di pagi hari yang makin menambah semangatnya.

Pagi itu sesampainya disekolah. Hari-hari Rangga seperti biasanya. Sejak pagi para penggemarnya mulai mencuri-curi pandang ke arahnya, dia hanya membalas dengan senyuman biar tidak terkesan sombong, tapi senyuman itu sudah cukup membuat para penggemarnya tidak ingin berkedip meskipun hanya sedetik. Bell istirahat berbunyi.

“Rangga ini ada tugas dari guru, tolong disampaikan ke teman-teman” kata Rita, teman sekelas Rangga sambil menyodorkan kertas kecil berisi beberapa kata dan angka di dalammya.

“Terima kasih” balas Rangga singkat. Rangga pun lalu menyampaikan ke teman sekelasnya tentang tugas tersebut. Tidak lama kemudian anak dari kelas lain masuk menuju ke arah Rangga yang hanya duduk di bangkunya sambil membaca sebuah buku. Mereka ingin mengajak Rangga ke kantin namun Rangga hanya menolak dengan baik-baik walau telah dipaksa berkali-kali. Rita adalah teman satu kelas Rangga yang tidak pernah memperlakukannya dengan istimewa seperti teman-teman lainnya. Rita dan Rangga pun tidak pernah memikirkan itu meskipun hanya sesaat. Tapi mereka memang tidak memperlakukan orang lain dengan istimewa. Teman yang kaya, miskin, populer, culun atau bahkan yang jelek menurut pandangan teman-temannya pun hanya disikapi dengan biasa.

Sesampainya di rumah Rangga menyalami kedua orang tuanya. Mereka terlihat sedih. Rangga yang baru pulang langsung bertanya dengan perasaan bingung yang melanda batinnya. Meskipun dia merasa capek dan belum sempat beristirahat barang sejenak.

“Ayah dan Ibu kenapa sedih?” Rangga yang membuka pembicaraan disambut awan mendung yang mulai menghitam. Hujan gerimis mulai turun, suara pohon tertiup angin terdengar sangat jelas. Ayah dan Ibu Rangga terdiam sebentar.

“Nak tinggal beberapa bukti lagi dan ayah akan di vonis” jawab Ayah dengan suara yang tidak tegas seperti biasanya.

“Ayah, Rangga percaya ayah tidak melakukan hal itu, ayah harus tetap berusaha” Rangga kemudian menuju kamarnya. Dia sholat dan berdoa terutama untuk ayahnya.

Keesokan harinya, kasus ayah Rangga tertera di koran pagi. Tapi Rangga langsung menyiapkan fisik dan mentalnya untuk tetap ke sekolah, meskipun Rangga merasa sangat sedih. Orang tuanya mampu membaca kesedihannya namun Rangga berusaha agar menyembunyika kesedihannya meski sulit.

Dalam perjalanan Rangga terus saja tersenyum untuk menghibur dirinya sendiri. Sesampainya di sekolah, hal yang berbeda dari biasannya. Saat itu teman-temannya terus membicarakan gosip-gosip miring tentangnya, sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Rangga di pandang sinis teman-temannya, juga para penggemarnya, Rangga tahu itu. Tapi dia tetap bersikap biasa, mencoba untuk tegar sambil membisikkan kata semangat untuknya sendiri. 

Tiba saat pulang Rangga tidak langsung pulang ke rumah, dia duduk di atas batu besar yang ada di jalan setapak jalan pintasnnya sambil terdiam. Bahkan hujan deras yang mengguyurnya seperti tidak lagi dirasakannya. Dia teramat sedih. Kemudian sesosok datang memayunginya yang sudah basah kuyup. Ketika itu Rangga tersadar dari lamunannya dan berbalik, ternyata Rita, kemudian Rita mencoba membujuknya Rangga untuk segera pulang.

1 komentar: